PERANAN PENDIDIKAN IPS DALAM
MENANGGAPI PERUBAHAN BUDAYA
Oleh: Nasution, Ph.D. (Universitas Negeri Surabaya)
Disampaikan dalam kuliah tamu pada prodi
Pendidikan IPS Universitas Negeri Malang,
tanggal 26 September 2014.
Didiklah
anakmu sesuai dengan zamannya (Umar bin Khotob)
I.
Pendahuluan
Tema
yang diberikan panitia kuliah umum sebenarnya adalah peranan pendidikan IPS
dalam mengendalikan Transisi Budaya, namun dalam makalah ini penulis lebih
senang menggunakan kata “menanggapi” dari pada kata “mengendalikan”, dan kata transisi menjadi perubahan .
Ada hal yang menarik terhadap penggunaan
kata itu. Kata mengendalikan dalam
kamus besar bahasa Indonesia (1990) adalah merupakan proses, cara, perbuatan,
atau pengekangan. Hal ini menunjukkan kesan sulitnya kita menerima perubahan
(protektif). Sebaliknya yang kedua yakni kata menanggapi mempunyai arti
menyambut. Makna menyambut berkonotasi menerima dan menyesuaikan. Kata itu juga
menunjukkan bahwa perubahan itu sebagai sebuah keniscayaan, mau tidak mau, suka
atau tidak suka, kita akan dihadapkan pada perubahan itu, dan tetap menjaga asa
bagaimana agar kita dapat tetap eksis
dalam era yang berubah itu (responsive). Sedangkan kata transisi mempunyai arti
peralihan dari keadaan (tempat, tindakan, dsb) kepada yang lain. Kata ini juga
mempunyai konotasi yang sama dengan perubahan, diganti dengan perubahan, namun
untuk mempermudah dalam konsep kata perubahan yang paling umum digunakan untuk
hal-hal yang berkenaan dengan konsep ilmu sosial.
Apabila ada sebuah temuan baru dalam
bidang Ilmu pengetahuan dan atau teknologi, maka dapat dikatakan bahwa telah
terjadi sebuah perubahan social dan perubahan social ini secara simultan
berpengaruh terhadap budaya masyarakat. Tanggapan masyarakat umumnya terhadap
perubahan itu adalah reaktif (menolak), protektif (melindungi atau
mengendalikan), dan responsive (menerima dan menyesuaikan).
Dalam masyarakat kita misalnya, apabila
dikenalkan atau bertemu terhadap hal yang baru, beberapa belahan masyarakat ada yang cepat-cepat bersikap reaktif, di belahan
yang lain protektif, dan sisi lain responsif. Umumnya terhadap perubahan itu, kita butuh
waktu yang lama untuk akhirnya dapat menerima atau menyesuaikan diri, atau kadang
kala untuk melakukan perubahan itu kita perlu paksaan. Dalam perjalanan sejarah
Indonesia, cara yang terakhir ini beberapa hal pernah terjadi di Indonesia.
Sebagai contoh pada masa kolonial Belanda, rakyat Indonesia lebih suka menanam
tanaman subsistensi (padi) dari pada menanam tanaman yang laku di pasar dunia
(tebu, kopi, karet, tembakau dsb.). Anjuran pemerintah kolonial pada saat itu
baru berjalan efektif ketika menerapkan kebijakan yang bersifat paksaan, yakni
mengeluarkan sebuah peraturan atau sebuah sistem yang dikenal dengan tanam
wajib atau yang dimaknai dengan tanam paksa. Dan ternyata hasilnya produk
tanaman ekspor menjadi sangat melimpah dan menjadikan Indonesia akhirnya
terintegrasi dengan pasar dunia.
Cara paksaan ini ternyata tidak efektif, karena
bukan berasal dari kemauan sendiri. Berangsur setelah merdeka, perlahan-lahan
Indonesia kini meninggalkan menanam tanaman ekspor, yang notabene pada masa
kolonial mendatangkan banyak keuntungan. Bahkan seiring dengan kebijakan swa
sembada pangan pemerintah sekarang, maka praktis semakin lunglailah produk
tanaman ekspor dan akhirnya kita kembali lagi beralih ke tanaman subsistensi
(padi).
Penemuan baru lain di bidang IPTEK dapat
dicontohkan banyak sekali, mulai dari perkembangan desain pakaian, penerangan, transportasi,
dan yang sekarang lagi menjadi pembicaraan hangat pro dan kontra adalah perkembangan baru dalam
dunia telekomunikasi dan informasi yakni dunia internet, yang telah banyak
merubah budaya masyarakat.
Pertanyaannya adalah bagaimanakah peranan
pendidikan IPS dalam merespon perubahan budaya tersebut?
II.
Perubahan Budaya Masyarakat:
dari Dunia Nyata ke dunia Maya
Dunia berubah dengan sangat cepat.
Anak-anak sekarang akan menjadi penduduk di era dimana perkembangan pesat ilmu pengetahuan
telah membedakan mereka dengan pengalaman hidup umat manusia era sebelumnya. Sebagai
contoh di zaman saya tahun 1970an, selalu suka bermain di luar rumah, bertemu
dengan banyak teman, bersenda gurau, bermain kelereng, kemiri, karet gelang,
obak sodor, dsb. bahkan terkadang sampai malam. Keadaan ini sudah mulai
berubah, kini anak-anak terutama yang tinggal di perkotaan, meskipun mereka
tidak bertemu, mereka masih tetap bisa menjalin hubungan melalui media chating,
sms, bbm, dsb. Kadangkala pula mereka
bisa bermain obak sendiri, yakni dengan mesin game dari hp atau komputer
mereka.
Dalam hal kontrol orang tua, kegiatan anak
seperti tahun 1970-an itu lebih mudah karena mereka akan menanyakan bila anak
mereka tidak ada di rumah, dan segera dapat menyuruh mereka untuk pulang
apabila dirasa perlu. Tetapi keadaan itu sekarang telah berubah. Anak-anak mungkin
berada di rumah, tetapi apa yang mereka kerjakan lebih sulit dipantau dari pada
era sebelumnya. Kelihatannya mereka rajin menghadap komputer, tapi apakah benar
dia berkegiatan positif seperti yang dipikirkan kebanyakan para orang tua.
Perkembangan media sosial melalui internet
telah membawa perubahan budaya di dalam masyarakat. Jaringan internet ini sebenarnya
mulai dikenal di Indonesia mulai tahun 1994. Pada waktu itu pengguna mereka
masih dalam skope lingkungan pendidikan. Jacky (2012) mensinyalir bahwa
berkembang pesatnya penggunaan Internet di Indonesia adalah mulai tahun 1995.
Pada era ini dapat disebut sebagai era web, dimana sarana internet tidak hanya digunakan
sebagai sarana komunikasi melainkan sudah digunakan dalam segala hal, baik
bidang sosial, politik, ekonomi, dsb. Penggunaan internet berkembang pesat
sejak adanya pembukaan kebijakan membangun hotspot di tempat-tempat umum, dan
perkembangan teknologi nirkabel. Sekarang tidak hanya perguruan tinggi di
Indonesia menyediakan akses internet gratis untuk semua civitas akademikanya,
melainkan juga di SMA, kafe-kafe, plaza-plaza, perpustakaan dsb, menyediakan fasilitas gratis. Dengan demikian semakin banyak masyarakat
yang dapat mengakses internet secara gratis di banyak tempat.
Dalam bidang sosial, munculnya internet
dengan situs facebook, youtube, dsb., telah turut meramaikan dunia web, dan
telah membawa hubungan sosial semakin meluas dan mudah. Dalam bidang ekonomi,
sekarang belanja tidak harus pergi ke Mall, Supermarket dsb., melainkan sudah
dapat dikases melalui internet. Toko-toko online sudah banyak bermunculan
seperti tokobagus.com, berniaga.com, lazada.com, dsb., dan tingkat kepercayaan
publik pun terhadap layanan internet juga tinggi.
Dalam bidang politik dari banyak studi
menunjukkan bahwa kekuatan internet dapat mempercepat jatuhnya rejim otoriter
dalam hal ini Orde Baru. Rejim orde baru dapat dikata sukses dalam membreidel segala
macam ekspresi masyarakat yang dapat menggoyang kedudukannya, antara lain media
cetak dan televisi, namun ternyata tidak mampu menyensor internet. Mungkin
pemerintah dapat membuat peraturan yang dapat mengontrol negara seperti UU anti
subversif, namun mereka sangat sulit mengendalikan informasi dari internet. Hal
ini dikarenakan internet mempunyai alat pengaman yang disebut Pretty Good
Privacy untuk meghindar dari sensor yang dilakukan oleh negara (Jacky, 2012).
Penggunaan internet di satu sisi berdampak
sangat positif bagi para pengguna terutama berkaitan dengan hal-hal yang
bersifat membangun masyarakat ke arah yang lebih baik. Namun, di sisi lain
internet juga memuat hal-hal negatif, antara lain seperti pornografi, dan yang
sekarang lagi ngetrend adalah prostitusi online.
Mengenai prostitusi online misalnya, sudah
bukan menjadi hal baru. Di Indonesia praktek prostitusi online ini beroperasi
baik dalam skala kecil maupun besar. Prostitusi dengan skala kecil melibatkan
kurang dari 10 pekerja seks komersial (PSK), dan prostitusi besar melibatkan
puluhan PSK lintas daerah atau bahkan lintas negara. Dalam studi Jacky (2013),
mencatat bahwa PSK online ini tidak hanya mempekerjakan perempuan dewasa, namun
juga mempekerjakan anak-anak dibawah umur (15-18 tahun). Mereka umumnya adalah
dari kalangan pelajar SMP dan SMA.
Berbeda dengan prostitusi konvensional
yang dengan mudah dapat dihapus oleh pemerintah, sebagaimana baru-baru ini yang
terjadi dalam kasus Lokalisasi prostitusi Dolly di Surabaya, prostitusi online
ini sangat sulit diberantas. Sebagai sebuah usaha sebenarnya pemerintah telah
mengeluarkan aturan hukum mengenai hal ini, yakni Undang-undang no. 11 tahun
2008, khususnya pasal 27 ayat 1, dimana disebutkan bahwa setiap orang dengan
sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau
membuat dapat diaksesnya informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik yang
memiliki muatan yang melanggar kesusilaan, pelaku diancam dengan hukuman enam
tahun penjara. Pada pasal 88 UU no. 23 tahun 2002 mengenai tindak perlindungan
anak dengan hukuman 10 tahun penjara. Mengenai mucikari diatur dalam pasal 506
KUHP dengan ancaman satu tahun penjara. UU itu ibarat macan di atas kertas,
tidak mampu membendung arus prostitusi online secara signifikan.
Beberapa kesulitan dalam menghapus prostitusi
online ini adalah dikarenakan mereka mengembangkan bahasa yang hanya dipahami
oleh komunitas tersebut. Apabila ada sebuah thread prostitusi online diblokir
sesama members tetap saling dapat berhubungan, karena mereka terhubung dengan
situs prostitusi dan forum-forum lain yang berhubungan dengan seks.
Sehubungan dengan berbagai dampak
penggunaan internet sebagaimana disebutkan di atas, menuntut adanya reorientasi
pendidikan IPS di sekolah.
III.
Permasalahan Dunia Maya dan
Arah Pendidikan IPS
Pendidikan IPS antara lain bertujuan membantu
anak-anak muda dalam mengembangkan kemampuannya untuk tanggap terhadap
permasalahan kewarganegaraan dan dapat membuat keputusan-keputusan yang
beralasan demi kebaikan umum, sebagai warga negara yang secara kultural
berbeda, di dalam masyarakat demokratis di dunia yang saling ketergantungan
(NCSS, 1994). Dalam menyikapi akan permasalahan peralihan atau perubahan budaya
itu Hasan (1996) pernah menyarankan perlunya pembaharuan dalam menentukan
kiblat pemikiran pendidikan di Indonesia, yakni dari yang selama ini lebih
didominasi pemikiran perenialisme ke arah essensialisme atau bahkan rekonstruksi
sosial.
Pemikiran filsafat perenialisme adalah merupakan
sebuah aliran pemikiran yang lahir sebagai reaksi dari pendidikan progresif.
Aliran pemikiran ini menolak pandangan progresif yang menitik beratkan pada
perubahan dan sesuatu yang baru. Ia memandang bahwa dunia sedang dalam keadaan
kacau, tidak pasti, dan tidak teratur, terutama dalam kehidupan moral dan
intelektual, serta socio kultural. Oleh sebab itu perlu adanya usaha untuk
mengamankan ketidakberesan tersebut. Kegiatan yang ditempuh oleh para
perenialis adalah melihat pemikiran ke belakang, yakni dengan berkiblat pada
tata nilai yang telah menjadi pandangan hidup yang diyakini (Uyoh, 2008).
Berdasarkan pemikiran ini pendidikan merupakan sebuah cultural heritage transmission, yakni diarahkan pada pewarisan nilai
dari generasi terdahulu kepada generasi berikutnya melalui transmisi
pengetahuan dan nilai kepada anak. Kaum perenialis beranggapan nilai-nilai itu
bersifat tetap dan pendidikan hendaknya untuk mencapai standar nilai-nilai yang
telah lama berlaku dan diyakini kebenarannya itu. Pemikiran ini menjadikan
pendidikan menjadi ideologis, dimana anak diajak untuk memiliki pengetahuan,
nilai, dan ketrampilan sebagaimana yang diinginkan oleh negara.
Pandangan Esensialis adalah satu pemikiran
pendidikan konservatif mirip dengan pemikiran pendidikan perenialis. Aliran ini
berpendapat bahwa kultur kita telah memiliki suatu inti pengetahuan umum yang
harus diberikan di sekolah-sekolah kepada para siswa dengan cara yang
sistematik dan berdisiplin. Letak perbedaannya dengan perenialisme adalah
perenialisme menekankan kepada kebenaran eksternal, sedangkan esensialisme
menekankan kepada pentingnya anggota masyarakat menguasai ilmu pengetahuan (Uyoh,
2008). Aliran pemikiran ini berpendirian bahwa tujuan mendidik akan tercapai
secara alami apabila intelektualisme keilmuan dikembangkan dengan baik.
Berdasarkan pemikiran ini para pendidik aliran ini berpendirian bahwa anak-anak
harus diajarkan disiplin, kerja keras, dan mempunyai rasa hormat. Dari pemikiran itu dapat dikatakan bahwa
aliran ini menjadikan tugas guru sebagai transferer
of knowledge.
Pandangan filsafat berikutnya adalah Rekonstruksi
Sosial. Pemikiran rekonstruksi sosial ini merupakan kelanjutan dari pemikiran
filsafat progresif, yang menempatkan pengalaman siswa sebagai inti. Apabila
kaum progresif berhenti hanya pada pemikiran dan pelibatan diri dengan
masalah-masalah sosial yang ada pada saat ini, kaum rekonstruksionis
melanjutkannya dengan membangun masyarakat baru. Pemikiran rekonstruksi sosial
menepatkan sekolah sebagai agen dari perubahan sosial. Salah seorang tokoh
rekonstruksi sosial George S. Counts mengatakan bahwa sekolah harus berperan
menjadi agen pembaharuan masyarakat masyarakat secara keseluruhan (Uyoh, 2008).
Tujuan pendidikan adalah yang dikembangkan oleh aliran ini adalah mengembangkan
ketrampilan anak untuk dapat memecahkan berbagai masalah sosial, ekonomi,
politk, budaya dsb., yang dihadapi masyarakat. Tugas sekolah adalah
mengembangkan rekonstruksi sosial ke arah masyarakat baru sesuai dengan keadaan
baru yang melingkungi masyarakat sesuai dengan zamannya.
Dalam menanggapi perubahan budaya yang ada
di dalam masyarakat, pemikiran filsafat pendidikan di atas dapat dijadikan
dasar dalam mengembangkan pendidikan IPS dalam rangka menanggapi perubahan
budaya terjadi saat ini sebagaimana yang telah diuraikan di atas. Tentu saja
tidak ada satu pilihan pemikiran yang benar-benar paling benar dalam mengatasi
berbagai permasalahan sosial yang ada. Namun di dalam pemikiran ini saya lebih
condong mendukung pemikiran rekonstruksi
sosial dalam masalah menaggapi perubahan budaya yang melanda masyarakat kita
dewasa ini.
IV.
Penutup
Kita
masih ingat bagaimanakah ketika awal dikenalkan dengan alat memasak nasi,
yakni rice cooker. Berbagai ragam bentuk reaksi masyarakat sangat beragam. Ada
yang mengatakan bahwa masakan nasi dalam rice cooker tidak seenak menggunakan kayu,
dandang, dsb. Begitu pula ketika
dikenalkan mesin cuci, banyak pula yang mengatakan masih bersih cuci pakai
tangan dsb., yang intinya mereka masih protektif, meskipun secara perlahan seiring dengan perkembangan ekonomi keluarga, akhirnya
menerima dan menikmati juga
kebudayan baru itu. Dari contoh ini kita akhirnya berpikir, bila apabila
kita selalu reaktif terhadap hal yang baru, lalu mungkinkah kita dapat
memelopori penemuan baru itu. Hal ini salah satunya perlunya kita merubah mindset kita terhadap pendidikan persekolahan, dan itu sekaligus bagaimana kita menempatkan dan
mengembangkan pendidikan IPS dalam menghadapi perubahan zaman itu.
Masyarakat kita sekarang dihadapkan pada
perubahan baru khususnya yang terjadi dalam budaya internet, di dalamnya ada aspek
positif dan aspek negatif. Kita mungkin dapat melarangnya, tetapi kita tidak
dapat menjamin anak melakukan sebagaimana larangan kita. Tidak ada kata lain
kecuali bahwa pengembangan pendidikan IPS harus mendewasakan anak. Mereka
hendaknya diajak untuk berpikir tentang permasalahan itu dan bagaimana mereka
memecahkannya.
Daftar Pustaka
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1990. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta:
Balai Pustaka.
Jacky, M. 2012. Blogger dan Demokrasi Deliberatif
di Blogosphere Indonesia. Disertasi Program
Pendidikan Doktor Ilmu
Sosial dan Ilmu Politik Unair. Tidak Diterbitkan.
__________, 2013. Pelacakan dan Pencegahan
Prostitusi Online di Kalangan Anak SMP dan SMA.
Surabaya: Lembaga
Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat. Tidak Diterbitkan.
S. Hamid Hasan, 1996. Perkembangan Kebijakan
Pendidikan Dalam Kurun Waktu 50 Tahun Terakhir.
Makalah Konvensi
Nasional Pendidikan Indonesia III. Ujung Pandang.
NCSS, 1994. Expectations
of Excellence, Curriculum Standards For Social Studies. Washington DC.