Pages

Rabu, 27 Agustus 2014

PENGUMUMAN PENDAFTARAN PROGRAM MAHASISWA WIRAUSAHA TAHUN 2014

PENGUMUMAN PENDAFTARAN PROGRAM MAHASISWA WIRAUSAHA TAHUN 2014



Kamis, 21 Agustus 2014

PENGUMUMAN PENDAFTARAN BEASISWA UNGGULAN SUPERSEMAR (BUS) TAHUN 2014

                                       
                             KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
                              UNIVERSITAS NEGERI MALANG (UM)
                                                          Jalan Semarang 5, Malang. 65145
                                                                  Telpon 0341- 551312 
                                                                  Laman: www.um.ac.id
PENGUMUMAN
Nomor: 1230/UN32.16.2/KM/2014

PENDAFTARAN
 BEASISWA UNGGULAN SUPERSEMAR (BUS)
TAHUN 2014

Dibuka pendaftaran Beasiswa Unggulan Supersemar (BUS)  tahun 2014 untuk  3 (tiga) orang mahasiswa Universitas Negeri Malang dengan ketentuan sebagai berikut:

A.   Persyaratan Pendaftaran:
1
Terdaftar sebagai mahasiswa Universitas Negeri Malang.
2
Sedang duduk di semester 3 (tiga) (bagi Program S1).
3
Indeks Prestasi (IP) kumulatif minimal 3.75 maksimal 4.00.
4
Tidak berstatus sebagai calon/penerima beasiswa dari instansi lain.
5
Aktif dalam kegiatan kemahasiswaan atau memiliki prestasi dalam bidang tertentu di tingkat daerah/nasional
6
  Berasal dari keluarga tidak/kurang mampu secara ekonomi
7
Bersedia mematuhi segala ketentuan yang berlaku bagi penerima beasiswa.
8
Menyerahkan fotokopi masing-masing rangkap 2 (dua) terdiri dari:

a
Kartu Tanda Mahasiswa (KTM).

b
Kartu Tanda Penduduk (KTP).

c
Kartu Keluarga (KK).

d
Kartu Hasil Studi (KHS) selama 2 (dua) semester berturut-turut (semester 1 dan 2) yang telah diperoleh dan di legalisasi

e
Sertifikat, Surat keterangan atau piagam yang menunjukkan aktif kegiatan kemahasiswaan atau memiliki prestasi (Fungsionaris Organisasi Kemahasiswaan, Kepanitiaan, Kegiatan Seminar, dan Kejuaraan/Perlombaan)

f
Surat Keterangan penghasilan orang tua/wali yang disahkan pejabat berwenang minimal Kepala Desa/ Lurah (asli)

g
Surat Keterangan tidak/kurang mampu yang disahkan pejabat berwenang minimal Kepala Desa/ Lurah (asli)

Semua berkas dimasukkan ke dalam map warna kuning, pada bagian depan ditulis   Nama, NIM, Jurusan, Fakultas

B.   Jadwal Kegiatan:
TANGGAL
KEGIATAN
25—28 Agustus 2014
Pendaftaran dan Penyerahan Berkas Pendaftaran di Subag Kesma, Bagian Kemahasiswaan Gedung A3, Lt.3
 
C.   Sanksi dan Himbauan bagi mahasiswa penerima beasiswa
            Berkas pendaftaran yang tidak lengkap dan atau tidak benar dapat digugurkan.

D.   Keputusan Tim Seleksi Penerimaan Beasiswa Unggulan Supersemar (BUS) Universitas Negeri Malang Tahun 2014 tidak dapat diganggugugat.


                                                                                                            21 Agustus 2014  
                                                                                                            a.n. Kepala Biro AKPIK
                                                                                                            Kabag Kemahasiswaan,

                       ttd

Drs. Taat Setyohadi
Tembusan:                                                                              NIP 1964110819891004
1.    Rektor
2.    Para Wakil Rektor
3.    Para Dekan
4.    Para Wakil Dekan III/Wakil Dekan FPPsi
5.    Para Kepala Biro
6.    Para Kasubag Kemahasiswaan & Alumni FIP, FS, FMIPA, FE, FT
7.    Para Kasubag Akademik & Kemahasiswaan FIK, FIS & FPPsi

Universitas Negeri Malang 


Selasa, 19 Agustus 2014

Materi Kuliah Tamu Pendidikan IPS Universitas Negeri Malang URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER PADA PROGRAM STUDI IPS DALAM MEMASUKI AFTA 2015

URGENSI PENDIDIKAN KARAKTER  PADA PROGRAM STUDI IPS
DALAM MEMASUKI AFTA 2015



Hadirin hadirot, khususnya para mahasiswa yang terhormat,
                                .
      Perubahan masyarakat berlangsung sangat cepat dan akan semakin cepat. Semua bangsa dan negara tidak bisa menghindari dari proses perubahan ini. Setiap perubahan akan melahirkan problem dan tantangan bagi bangsa manapun juga. Dibalik  problem dan tantangan terdapat peluang dan kesempatan. Hanya bangsa yang berani menghadapi problem tantangan dan dapat memanfaatkan peluang dan kesempatan, akan menjadi bangsa yang semakin maju. Sebaliknya, bangsa yang menghindari perubahan atau tidak dapat memanfaatkan peluang dan kesempatan akan menjadi bangsa semakin  terpuruk dalam percaturan antar bangsa dan negara.

TANTANGAN MASA KINI
       Saat ini bangsa Indonesia memasuki abad 21, era teknologi, globalsiasi, dan perdagangan bebas, ketiganya menyebabkan dunia semakin sempit  lagi terbuka. Hubungan antar negara nyaris tanpa batas batas geografis lagi. Faktor-faktor ekonomi, sumber daya alam, sumber daya insani, modal dan produk barang dan jasa mengalir antar negara secara cepat dengan arus yang besar tanpa ada yang bisa membendungnya lagi.  Dalam skop regional Indonesia akan mengadapi perdaganagn bebas masyarakat ekonomi Asean atau sering dikenal denagn istilah Asean Free Trade Area (AFTA). Dengan AFTA  arus barang, jasa  dan modal  diantara negara-negara ASEAN bebas terbuka tanpa hambatan lagi.
Hadirin yang saya mulyakan,     
       ASEAN, Association of South East Asian Nation, didirikan oleh  negara-negara   di Asia Tenggara, yakni Indonesia, Malaysia, Singapore, Filipina Thailand dan Brunai. Tidak bisa disangkal bahwa gagasan ini tidak lepas dari pemikiran Soeharto, presiden republik Indonesia kala itu.. Kerjasama ini bertujuan untuk memajukan kehidupan social ekonomi negara-negara anggota. Tekanan ini perlu dikemukakan untuk menunjukan bahwa ASEAN bukan kerjasama pertahanan dan milter, seperti SEATO (South East Asian Treaty Organization) kerjasama pertahanan merupakan kerjasama  yang mendapatkan perhatian besar masa itu. Pembentukan kerjasama ini tidak bisa disangkal  dipengaruhi oleh dibentuknya  Masyarakat Ekonomi Eropa (MEE) atau European Economic Community atau ECC. Pada tahun 2003 dilaksanakan peetemuan ASEAN di Bali, Bali Concord II, yang memutuskan dibentukannya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA), dan pada pertemuan ASEAN tahunn 2012 di Phonm Peph diputuskan Masyarakat Ekonomi Eropa akan dimulai tahun 2015. Pada tahun itu mulai diberlakukan perdangan bebas antara negara-negarea ASEAN. Ibaratnya, diantara negara negara ASEAN menjadi satu pasar nasional baru.
       Sudah barang tentu, AFTA merupakan tantangan dan peluang bagi negara anggota ASEAN. Secara ekonomis pasar menjadi semakin luas, ketersediaan dana semakin besar, keberadaan SDM semakin memadai dan transaksi ekonomi akan semakin cepat lagi besar. Masyarakat Ekonomi Asean mencakup  2,3 trilyon dolar Amerika Serikat, lebih dari 600 juta penduduk,  Groos Domestic  percapita sebesar US$ 3,745 dan angka pertumbuhan GDP riil 5,4 %. Fakta merupakan peluang bagi negara-negara anggota MEA. Negara-negara anggota MEA yang bisa mengambil peluang akan menikmati keuntungan dari adanya MEA, sebaliknya negara-negara anggota yang tidak bisa mengambil peluang akan sekedar menjadi  pasar bagi negara-negarea aggota yang lain. Peluang dan  tantangan akan semakin besar apabila pasar terbuka antara MEA dan Republik Rakyat Tiongkok dilaksanakan. Tiongkok  memiliki jumlah penduduk  lebih dari 1,2 milyad, besaran ekonimi sektar 1,2 Trilyon dollar AS,  GDP per capita  US$ 1.492  dengan pertumbuhan ekonomi pertahun sekitar 4 %.
      Selama ini, kegiatan ekonomi import eksport diantara negara-negara ASEAN menunjukan peningkatan yang menggembirakan. Pada tahun 1993 perdagangan diantara negara –negara anggota ASEAN hanya mencakup 19%,  artinya 81% yang lain,  merupakan perdagangan negara negara ASEAN dengan negara-negara di luar ASEAN. Perdagangan diantara anggota ASEAN  dari total perdagangan mengalami kenaikan pada tahun  2011, yakni mencapai 25 %. Diproyeksikan pada tahun 2020 perdagangan diantara negara negara anggota ASEAN akan mencapai 35 %. Sudah barang tentu, adanya AFTA akan meningkatkan volume perdagangan diantara negara-negara ASEAN. Siapa yang diuntungkan ? Jelas negara anggota ASEAN yang siap menyambut perdagangan bebas yang akan memperoleh keuntungan. Artinya pasar negara itu semakin luas.
       Kalau bangsa  Indonesia berhasil mengelola perdagangan bebas, khususnya AFTA, maka bukan mustahil proyeksi para ahli, akademisi dan praktisi berkaitan dengan pertumbuhan ekonomi negara-negara di dunia menjadi kenyataan. Salah satu proyeksi dilakukan oleh  Lembaga Price Waterhouse Coopers, yang memperoyeksikan perkembangan ekonomi negara-negara di dunia, “THE WORLD IN 2050,” March 2006. Hasilnya sebagaimana dapat dilihat pada table 1 yang  menunjukan Indonesia  mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sekitar       7 % pertahuan selama kurun waktun 2005 sampai 2050. Angka pertumbuhan Indonesia ini hanya dibawah India yang berada pada puncak dengan angka 7,3 %. Sudah barang tentu ramalam ini tidak sekedar main-main, melainkan secara akademik dan metodologik bisa dipertangung jawabkan.



       Pertumbuhan ekonomi Indonesia dan negara-negara yang memiliki pertumbuhan tinggi terus berlangsung telah  diramalkan oleh Citibank Group, pada tahun 2030 negara kita Indonesia akan menjadi negara terkaya no 7 di dunia., Pada sepuluh tahun berikutnya, tahun 2040, posisi Indonesia  akan menanjak menjadi negara terkaya no 4, hanya berada dibawah China, India dan Amerika Serikat. Perhatikan tabel no 2. Bisakah dibayangkan bagaimana keadaan  bangsa dan negara kita pada waktu  menempati  negara terkaya nomer empat?



       Proyeksi diatas akan menjadi kenyataan manakala bangsa Indonesia berhasil dalam persaingan pasar bebas. Untuk bisa memasuki AFTA dengan berhasil  suatu negara mesti memahami bagaimana karakteristik  perdagangan bebas, dalam hal ini AFTA. Perdagangan bebas menyangkut beberapa aspek dalam kehidupan berbangsa. Antara lain, a) persaingan regional & global, b)kerjasama regional & global, c)informasi regional & global, d)karier dan pekerjaan reginal &  global, dan, e)pertumbuhan ekonomi pelayanan jasa.
      Persaingan bebas diantara negara negara ASEAN, dengan AFTA, tidak terhindarkan lagi. Sebagaimana prinsip persaingan bebas, siapa yang kuat akan menang dan siapa yang kalah akan terpinggirkan. Persaingan tidak mengenal kata belas kasihan.   Bagaimana negara bisa mempersiapkan diri menyambut perdagangan bebas?    Prinsip persaingan itu perlu disadari sepenuhnya oleh seluruh warga bangsa, khususnya para pelaku ekonomi di Indonesia.  Apalagi perlu diingat persaingan sudah bersifat regional dan global, tidak lagi bersifat domestik atau nasional. Sebagai jawaban atas persaingan bebas tersebut tidak ada kata lain kemandirian merupakan sesuatu yang mesti dimilki. Para pelaku ekonomi tidak bisa mengharapkan  atau  merengek kepada pemerintah suatu kebijakan untuk melindungi bisnis mereka. Masa depan usaha mereka ada ditangan mereka masing-masing. Semangat untuk mandiri  ini akan menimbulkan kemauan, tanggung jawab dan kerja keras. Segala daya yang dimiliki harus dikerahkan. Segala upaya mesti dilakukan. Apabila tidak, hanya akan ada satu: “terpinggirkan” dari persaingan menjadi kenyataan pahit. Sudah barang tentu, dalam persaingan diantara negara-negara ASEAN, dan kelak juga diantara negara-negara global memiliki etika. Etika global, seperti kejujuran, kedisiplinan, kebebasan, menghargai, kesetaraan dan menghormati hak-hak fihak lain, dan tanggung jawab mesti dipatuhi dan menjadi kebiasaan perilaku sehari-hari.
      Kesadaran  akan persaingan  global yang menekankan pada kemandirian tidak berarti harus mengisolir diri. Para pelaku ekonomi  dalam persaingan global justru  harus membangun kolaborasi dengan pelaku ekonomi lain. Sebagaimana persaingan yang bersifat regional dan global, maka kolaborasi  disamping berskop nasional, juga harus berskop regional dan global. Kolaborasi merupakan suatu bentuk kerjasama yang direncanakan dengan tujuan dan cara-cara yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan tersebut. Untuk melaksanakan kolaborasi berskop regional dan global, kemampuan memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi mutlak diperlukan. Tanpa kemampaun mengoperasionalkan teknologi informasi dan komunikasi kolaborasi sulit dilaksanakan dengan benar. Disamping itu, sudah barang tentu kemampuan bahasa asing baik tulis maupun lesan merupakan kebutuhan mutlak lainnya. Karakteristik perdagangan bebas ditunjukan pada tabel 3.


SUMBER: The Friendship Institute, Education for 21st Century, 2005.
     
        Karakteristik pedagangan bebas berikutnya adalah informasi regional dan global.  Perdagangan bebas menuntut warga bangsa khususnya perilaku ekonomi “melek informasi” (information literacy).  Melek informasi memiliki arti warga bangsa memiliki pengetahuan bisa membedakan mana sumber informasi yang baik dan  benar dari  sumber informasi yang jelek dan tidak berguna. Disamping itu, warga negara yang “melek informasi” bisa mengambil keputusan  mana yang perlu untuk dijadikan sumber,  untuk dibaca dan dkaji. Karena begitu banyak sumber informasi dan harus memilih beberapa sumber dari begitu banyak sumber tersebut, maka warga negara memerlukan kemampuan berpikir kritis. Artinya, bisa mengkaji secara cermat dan cepat, menangkap  isi dan makna, mampu menganalisis dan segera memberikan  tanggapan atau umpan balik, serta mampu berpikir alternatif. Kemampuan berpikir kritis ini amat menentukan keberhasilan dalam perdagangan bebas. Karakteristik terakhir, adalah kemampuan memecahkan masalah dan menciptakan & memanfaatkan peluang.   Kemampuan berpikir kritis akan melahirkan kemampuan untuk memecahkan masalah. Namun, kemampuan memecahkan masalah saja tidak mencukupi. Karena, masalah demi masalah akan terus bermunculan. Diperlukan kemampuan untuk menciptakan peluang. Dibalik masalah dan tantangan  terdapat peluang. Tidak semua orang bisa memahami atau melihat adanya peluang ini.  Kalau tidak memahami adanya peluang pasti orang itu tidak akan dapat memanfaatkan peluang yang ada. Peluang bisa saja lewat silih berganti. Kemampuan menangkap peluang harus senantiasa dilatih dan dikembangkan. Bagaimana caranya? Jangan takut menghadapi masalah. Jangan menghindari atau menunda masalah. Hadapi masalah secara serius tetapi santai.
       Karakteristik pedagangan bebas yang lain adalah perubahan struktur karier  pekerjaan dan kemampuan yang dibutuhkan untuk melaksanakan pekerjaan tersebut. Menghadapi kondisi yang serba berubah ini maka kemampuan berpikir kritis dan kemampuan memecahkan masalah serta menangkap peluang memiliki peran penting.  Disamping itu, dalam segala bidang dan jenis pekerjaan perlu ada suatu sistem dan mekanisme yang mendorong adanya perbaikan, penyempurnaan dan pembaharuan secara terus menerus, dari waktu ke waktu. Fleksibiltas dan adaptabilitas diperlukan dalam dunia kerja pada era perdaganagn bebas. Negara-negara yang mampu mengembangkan pembaharuan kerja akan menjadi negara yang bisa mengambil keuntungan dari perdagangan bebas.
      Karateristik perdagangan bebas terakhir adalah terjadinya pertumbuhan pelayanan jasa yang luar biasa cepat dan modern. Pertumbuhan pelayanan dan jasa ini terutama dikarenakan kemajuan teknologi informasi dan komunikasi. Oleh karena itu, amat logis kalau  perkembangan pelayanan jasa ini memerlukan penguasan kemampuan teknologi informasi dan komukasi dikalangan warga bangsa.  Disamping itu, setiap warga bangsa mesti memiliki kemampuan untuk menghadapi persoalan-persoalan di sepanjang hidupnya. Karena dalam era perdaganagn bebas, perubahan akan cepat terjadi. Setiap perubahan pasti membawa masalah dan tantangan baru,  sekaligus peluang-peluang baru. Hanya mereka warga negara yang memiliki ketrampilan untuk
hidup (life skills) yang akan berahsil dalam era perdagangan bebas.

KEKUATAN KARAKTER
       Perdagangan bebas merupakan salah satu simbol kemajuan zaman global, zaman abad 21. Kemajuan teknologi yang menyertai perdagangan bebas menjadikan penduduk dunia semakin lebih dekat dan  akan merubah struktur pekerjaan. Lokasi tempat kerja berubah. Jenis industri  dimana penduduk kerja berubah. Kecepatan dalam bekerja berubah. Akibatnya, konflik tidak terelakan karena masing-masing negara ingin dapat memenuhi kebutuhannya  di satu sisi, dan di sisi lain mereka menginginkan hidup berdampingan secara damai dan harmonis sebagai bangsa yang modern, maju  dan berkeadaban. Sudah barang tentu, dibalik kemajuan teknologi, kontak antar bangsa semakin intens, terjadi perubahan kultur bangsa. Globalisasi kultur  menyebabkan perubahan pada penduduk: cara hidup berubah, persepsi berubah, dan interaksi mereka juga berubah. Hasil dari semua itu adalah bangsa-bangsa yang berhasil dalam perdagangan bebas akan mengalami kemajuan lebih cepat dari pada sebelumnya.
        Suatu studi yang dilakukan oleh  kelompok industri besar yang kemudian dirumuskan sebagai pendidikan abad 21 abad perdagangan bebas, memberikan informasi yang mengejutkan. Ketika kepada para industrialis diajukan pertanyaan” “Ketrampilan apa yang menjadikan lulusan sekolah menengah berhasil dalam bekerja”?. Jawabanya amat menarik sebagaimana dituangkan pada table 4.
      Setelah dianalisis, ternayata pasa industrialis mengemukakan lima   aspek yang penting dalam dunia kerja: a)etika kerja, b)kolaborasi, c)komunikasi yang baik, d)tanggung jawan sosial, dan, e)berpikir kritis. Empat pertama dari lima apek adalah kawasan karakter. Hanya aspek daya kritis yang masuk kawasan ilpu pengetahuan.
    
      Keberhasilan bekerja lulusan sekolah menengah ternyata terletak pada lima aspek, bukan sekedar penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi semata. Etika kerja, antara lain mencakup ketatan pada hukum, aturan dan ketentuan kerja yang ada menempati posisi paling tinggi dengan  angka 80 % dari responden. Demikian pula kemampuan berkolaborasi yang  mesti bisa bekerjasama dengan segala perbedaan yang ada dan menjunjung tinggi toleransi dipilih oleh sekitar  75 respondent. Sebaliknya yang memilih kemampuan kritis  aspek penting dari penguasaan ilmun pengetahuan hanya sekitar 58 % responden.
       Ketika kepada para responden diajukan pertanyaan apa kelemahan pekerja lulusan  sekolah menengah yang bekerja di perusahaanya selama ini. Jawabnya, sekitar 81 % menunjukan pada kemampuan berkomunikasi, baik lesan maupun tulis. Kemampuan berkomunikasi selain mengandung aspek pengetahuan, juga mengandung aspek karakter seperti percaya diri, menghargai pendapat orang lain, santun dalam memberikan tanggapan. Aspek kepemimpinan dan etika kerja dipilih oleh para  responden secara bertutur-turut 73% dan 70%. Aspek penguasaan pengetahuan, kemampuan berpikir  kritis hanya dipilih oleh 70 dari  para responden.
       Tabel 5 juga menunjukan bagaimana pentingnya karakter dalam dunia kerja pada era perdaganagn bebas. Ketika kepada apara industrialis selaku responden diajukan perrtanyaan: “Apa kelemahan dalam mbekerja lulusan sekolah menengah yang saudara pekerjakan tahun terakhir ini”? Mereka memberikan jawaban, yang setelah dianalisis mengerucut ke dalam lima point. Yakni, a)kemampuan komunikasi tulis, b)kepemimpinan, c)etika kerja, d)berpikir kritis dna pemecahan masalah, da, e)belajar mandiri. Kembali, sebagaimana pada tabel 4, lima aspek yang disebut responden hanya satu yang secara jelas menyangkut kepemampuan bidang ilmu penegetahuan yakni, daya kritis.

       Ketika kepada para responden diajukan pertanyaan kemampuan yang penting pada lima tahun kedepan, jawabnya dapat dilihat pada tabel 6. Setelah dianalaisis ternyata mengkerucut  pada enam kemampuan utama.
Yakni, a)berpikir kritis, b)penguasaan Information and Communicvation Technology (ICT), c)kesehatan dan kebugaran, d)kemampuan berkolaborasi, e)innovasi, dan, f)tanggung jawab keuangan pribadi. Dari jawaban diatas, nampak jelas masalah karakter menempati posisi penting  yang harus dikuasai oleh pekerja pada lima tahun ke depan.
      
       Oleh karena itu kebijakan pendidikan karakter menjadi kebijakan unggulan di hampir semua negara. Bagi Indonesia, tekanan pendidikan karater semakin  penting, manakala dikaji kondisi bangsa kita tengah sakit. Khususnya, sakit  tidak ada kejujuran diantara kita. Kondisi bangsa yang tengah sakit ini akan mempengaruhi proses pendidikan. Dengan demikian bagi Indonesia  pendidikan karakter tidak hanya penting, tetapi mutlak diperlukan.
MEMAKNAI KARAKTER
        Bangsa Indonesia memiliki semua pensyaratan untuk  menjadi bangsa yang maju, moden, dan berkeadaban. Sumber daya alam melimpah. Dalam bumi terdapat kandungan berbagai tambang yang amat dibutuhkan bagi setiap negara. Dalam lautan penuh dengan  berbagai berkah Tuhan mulai dari berbagai jenis ikan sampai mutiara. Hutan Indonesia memiliki ribuan species binatang dan tumbuh-tumbuhan yang sulit dicari di negara lain. Manusia Indonesia tidak beda dengan manusia bangsa lain, khususnya dalam hal  kemampuan intelektual. Tetapi ada satu yang bangsa Indonesia kalah dengan bangsa lain. Yakni, karakter bangsa Indonesia rapuh nyaris roboh. Ibaratnya bangunan, kerangka rumah sudah keropos, kalau tiada tindakan penyelamatan khusus, tinggal menunggu roboh.
       Karakter adalah pedoman hidup, kemana bangsa akan menuju dan bagaimana cara mewujudkan tujuan itu.  Apa yang harus dipegang erat erat dan dikuti secara ketat. Sebaliknya, apa yang harus dijauhi, dibuang jauh-jauh. Karakter itulah yang akan menimbulkan sikap dan perilaku warga bangsa, termasuk para pemimpinnya, pro pada pembangunan dan kemajuan. Karakter yang kokoh kuat dan positif akan  menimbulkan perilaku kehidupan yang membawa bangsa ke arah kehidupan yang lebih baik, lebih modern dan lebih berkeadaban. Sebaliknya karakter bangsa yang lemah dan negatif akan menimbulkan perilaku warga bangsa yang membawa bangsa pada kehidupan yang semakin jauh dari cita-cita kehidupan, bahkan tidak mustahil membawa bangsa ke failed nation atau negara yang gagal, negara yang hilang dari peta dunia. 
      
       Apa itu  karakter bangsa? Pada awalnya, karakter bangsa dilihat sebagai suatu fakta dan proses sejarah, yang kemudian terdapat pergeseran bahwa karakter bangsa merupakan kekuatan politik yang harus dimanfaatkan untuk melakukan reformasi kehidupan berbangsa dan bernegara.  Dengan kata lain terjadi pergeseran dalam cara memandang karakter bangsa, sebagai sesuatu yang abstrak kearah sesuatu yang bersifat praktis implementatif. Pemikiran perkembangan karakter bangsa ini dapat dikaji dari berbagai pendapat tokoh, seperti Montesquieu dan Jean-Jacques Rousseau  sampai para ahli politik dan ekonomi dewasa ini.
Karakter bangsa merupakan  watak dan sifat yang dimiliki oleh suatu kelompok dan digeneralisasi pada masyarakatnya. Dalam karakter ini tidak bisa dibebaskan adanya  stereotaip. Misalnya, karakter orang   jepang tidak sama dengan karakter orang Indonesia. Dalam suatu bangsa juga dapat terjadi stereotaip, seperti orang batak tidak sama dengan orang papua, tidak sama dengan orang bugis. Apakah hal ini berarti setiap individu dalam suatu wilayah memiliki karakter yang sama? Sudah barang tentu tidak. Disini terdapat generalisasi dan stereotaip. Sebagai contoh makro, karakter bangsa Inggris sering dikatakan sebagai perpaduan antara kualitas kehidupan seperti intelgensi tinggi, adil, rajin, pemaaf dan terlalu bangga akan diri bangsanya dan meremehkan bangsa lain, kasar dan ingin selalu menang. Benarkah setiap diri orang Inggris memiliki karakter tersebut? Sudah barang tentu, sekali lagi,  tidak.
Montesquieu, seorang filosof  berkebangsaan Perancis mengemukakan karakter bangsa sebagai “Semangat kebangsaan”, yang terdiri dari karakteristik moral dan cara berpikir serta perilaku warga bangsa yang merupakan hasil dari kombinasi khas yang dimiliki bangsa tersebut, seperti: iklim, agama, hukum, pemerintahan, sejarah dan  etika.  Apa yang membedakan satu bangsa atas yang lain adalah suatu kombinasi yang khas dari berbagai faktor yang dimiliki masing-masing bangsa, pola interaksi dan saling ketergantungan diantara faktor-faktor tersebut, dan sifat-sifat karakter yang dihasilkannya.   Dalam kesempatan lain, Montesquieu menegaskan bahwa karakter bangsa sangat berkaitan dengan hukum, bentuk dan perilaku pemerintahan yang ada. Karakter bangsa akan tercermin bagaimana warga bangsa tunduk dan patuh pada hukum yang berlaku. Demikian pula karakter bangsa akan tercermin pada bagaimana warga bangsa memahami atas bentuk dan praktik pemerintahan yang ada. Masyarakat berkarakter akan selalu memberikan dukungan apa bila pemerintah berjalan diatas rel yang benar. Sebaliknya, warga bangsa akan bereaksi dan memberikan kritik manakala pemerintah  menyeleweng dari garis garis yang telah ditetapkan.
Tidak jauh berbeda, Jean-Jacques Rousseau, melihat karakter bangsa sebagai sesuatu yang kompleks, yang merupakan asosiasi dari elemen-elemen dasar kesadaran nasional. Dia berpendapat masing-masing bangsa memiliki karakter yang unik, mencakup temperament, ciri-ciri fisik, kualitas moral dan norma, ditambah tradisi agama dan kebudayaan yang memberikan kepada warga bangsa kesadaran akan kebersamaan sebagai suatu bangsa. Selanjutnya, Rousseau menambahkan suatu bangsa membangun identitas sebagai suatu bangsa  berdasarkan apa yang secara khusus dimiliki bangsa seperti semangat, pandangan, tradisi,  hukum,  dan sistem politik.
Sejarah perkembangan bangsa-bangsa memberikan pelajaran bagaimana karakter bangsa bisa lahir dari garba proses perjuangann bangsa itu sendiri. Stephenson (2005) menunjukan bagaimana suatu revolusi bangsa melahirkan karakter bangsa yang kuat, kebersamaan yang amat kokoh sehingga dengan  kemampuan yang  serba terbatas mampu menghadapi tekanan yang luar biasa dahsyatnya, demi suatu cita-cita bangsa itu sendiri. Karakter bangsa senantiasa menekankan aspirasi bangsa sebagai sesuatu yang utama, yang lain merupakan urusan belakangan.  Dengan kata lain, karakter bangsa melahirkan kebersamaan yang kokoh dan kuat dengan suatu visi dan nilai-nilai yang dipegang teguh bersama. Kebersamaan dengan didasari visi dan nilai-nilai ini yang menyebabkan suatu bangsa jauh dari berbagai penyakit kehidupan zaman modern, seperti kekerasan, korupsi, kemiskinan dan kebodohan serta berbagai penyimpangan hukum yang lain.
Bangsa Indonesia pernah mengalami ini. Perjuangan kemerdekaan telah malahirkan Negara Republik Indonesia pada tahun 1945. Negara yang masih muda memiliki berbagai tantangan yang amat berat. Tetapi bangsa Indonesia selepas  revolusi kemerdekaan memiliki karakter bangsa yang kokoh dan kuat, disertai kebersamaan yang dapat menjembatani berbagai perbedaan, termasuk perbedaan  etnis,  budaya lokal dan perbedaan agama sekalipun. Hasilnya cita-cita Negara dan bangsa mardeka dan berdaulat dapat dipertahankan. Amat berbeda kondisi tersebut diatas apabila dibandingkan dengan  reformasi tahun 1998. Begitu orde baru runtuh, orde reformasi lahir tetapi tidak disertasi dengan lahirnya karakter bangsa yang kuat. Bahkan justru sebaliknya, karakter bangsa  terkikis dan merosot amat cepat, nyaris bangsa Indonesia tidak lagi memiliki karakter. Akibatnya, kekerasan, korupsi, manipulasi dan berbagai penyimpangan dalam berbagai aspek kehidupan termasuk hukum senantiasa erat hadir disekitar kita.
Dari berbagai pendapat  diatas, dapat disimpulkan bahwa karakter bangsa bukan sekedar perkembangan sejarah, melainkan merupakan realitas yang dapat diciptakan dan dikembangkan lewat suatu rekayasa sosial. Karakter bangsa tidak hanya diperlukan bagi suatu masyarakat, tetapi  bentuk karakter bangsa bisa dikembangkan untuk suatu bentuk sistem pemerintahan. 
Karakter bangsa dibentuk oleh berbagai campuran dari sifat-sifat yang ada, seperti sosialibilitas, ketulusan, kejujuran, kebanggaan, keterbukaan, malas, kerja keras, dan semangat untuk berprestasi. Karakter bangsa akan muncul sebagai keterpaduan dan keseimbangan dari berbagai karakteristik moral diatas. Oleh karena itu, suatu karakter bangsa mesti kembangkan berdasarkan nilai-nilai tradisi yang dimiliki bangsa itu sendiri dipadukan dengan konteks bangsa yang ada, seperti lembaga-lembaga, kebiasaan-kebiasaan, dan kebudayaan bangsa serta agama yang dianut mayoritas warga bangsa tersebut.
Karakter bangsa sangat erat berkaitan dengan sistem dan praktik politik yang ada. Bahkan suatu konstitusi suatu bangsa merupakan cerminan karakter bangsa yang bersangkutan. Lebih lanjut  dapat dikatakan bahwa katakter bangsa merupakan suatu basis untuk melahirkan kesadaran nasional dan jiwa patriotisme bangsa, yang merupakan fondasi bagi terujudnya bangsa yang mandiri, merdeka dan berdaulat. Karakter bangsa juga merupakan identitas suatu bangsa untuk mempertahankan diri melawan penjajahan asing dalam segala bentuknya. Selama bangsa memegang teguh karakternya, bangsa tersebut akan bisa menjaga kemerdekaan dan kedaulatannya dari segala bentuk kekuasaan asing.
Karakter bangsa bisa merupakan komulasi dari karakter kelompok dan sebaliknya karakter kelompok  merupakan hasil dari karakter bangsa. Jadi antara keduanya teradi interaksi yang saling memperkuat.
       Apa karakter kelompok atau individu? Karakter merupakan pedoman bagi seseorang kemana  akan menuju, bagaimana cara mencapai tujuan itu, apa saja yang perlu untuk dipegang erat-erat, sebaliknya apa saja yang harus dihindari dan ditinggalkan jauh-jauh. Pedoman ini akan membantu seseorang dalam mengambil keputusan. Jadi karakter mengandung dasar-dasar moralitas, rasionalitas dan perilaku.
       Seorang sastrawan Amerika Serikat, Harney Rubin, menyatakan secara puitis:   "Watch your thoughts, for they become words. Watch your words, for they become actions. Watch your actions, for they become habits. Watch your habits, for they become character. Watch your character, for it becomes your destiny." Jadi karakter mencakup dari apa yang dipikirkan (moral reasoning)  sampai kebiasaan dan tujuan hidup. Pedoman ini yang perlu dikembangkan pada diri setiap warga bangsa, khususnya para peserta didik sebagai generasi muda harapan bangsa.  Pedoman ini bersifat sangat mendasar yang berpusat dari dalam diri sendiri, terjabarkan pada visi etika, dan akhirnya akan terujud pada perilaku guna mencapai tujuan yang mulia.
Salah seorang pendidik yang menekuni pendidikan karakter memberikan definisi yang ringkas, yakni, terminologi yang mendeskripsikan berbagai aspek dalam pembelajaran guna mengembangkan kepribadian. Dalam proses pembelajaran tersebut mengkaitkan antara moralitas pendidikan dengan berbagai aspek pribadi dan sosial pesertadidik dalam kehidupan sehari-hari. Antara lain mencakup penalaran, pembelajaran sosial dan emosional, pendidikan moral, pendidikan ketrampilan hidup, memperhatikan dan menyayangi masyarakat, pendidikan kesehatan, mencegah kekerasan, menengahi dan memecahkan konflik, dan etika kehidupan. Pesertadidik perlu mempelajari semua itu agar mereka dapat memecahkan permasalahan dalam mengambil keputusan dalam hidupnya dengan tepat (Gholar, 2004). Artinya, pendidikan karakter berkaitan dengan pedoman hidup sehari-hari yang amat  diperlukan guna mengambil keputusan dan memeccahkan perbagai problem kehidupan yang dihadapi. Sebagai pedoman hidup, karakter bisa dikembangkan berdasarkan berbagai sumber, antara lain bersumberkan agama dan bersumberkan idiologi negara. Setiap agama memiliki dasar-dasar karakter bagi pemeluknya. Demikian pula idiologi negara mengandung berbagai dasar etika untuk dikembangkan menjadi karakter bangsa.
       Muncul pertanyaan, apakah karakter secara otomatis akan berkembang dengan sendirinya pada diri setiap  individu, dalam kaitan ini setiap pesertadidik? Memang karakter akan berkembang secara otomatis pada diri pesertadidik. Masalah berikutnya adalah bagaimana bentuk atau macam karakter yang berkembang secara otomatis tersebut? Masalah ini yang harus dijawab, bahwa karakter yang berkembang adalah sesuai dengan tujuan pendidikan dan lebih jauh tujuan Republik ini diproklamirkan. Yakni, membentuk manusia yang utuh, paripurna, sehingga keberadaanya tidak saja berguna bagi diri sendiri, tetapi juga berguna bagi keluarga masyarakat,  bangsa dan negaranya, sehingga bisa mendorong terujudnya masyarakat yang adil, makmur, sejahtera rohani dan jasmani, merdeka dan berdaulat  dalam negara yang berdasarkan Pancasila. Artinya, perlu ada rekayasa sosial untuk mewujudkan pesertadidik yang  berkarakter, yang dalam skope nasional akan melahirkan karakter bangsa.

PENDIDIKAN KARAKTER DALAM BINGKAI ILMU-ILMU SOSIAL.
Hadirin hadirat, lhususnya para mahasiswa yang berhagia. Perkenankanlah saya memulai pembicaraan tentang ilmu social ini dengan mengutip ucapan Albert Einstein:
        Politic is more difficult than physic and the
        world is more likely to die from
        bad politics than  from bad physic. 
Dalam menghadapi perubahan ini peranan ilmuwan sosial sangat penting. Ilmu-ilmu sosial, pada hakekatnya,  berusaha untuk memahami kompleksitas manusia dan interaksinya serta strukturnya secara rasional dan analistis.  Studi tentang kehidupan manusia dan masyarakatnya relatif  baru.  Namun sejauh ini sudah menghasilkan akumulasi pengetahuan yang dapat diwujudkan dalam suatu sistem pengetahuan tentang hakekat, pertumbuhan dan fungsi kehidupan manusia. Tidak dapat dihindarkan, untuk mengkaji Ilmu-ilmu sosial maka pesertadidik harus mengkaji konsep-konsep pokok dalam masing-masing disiplin tersebut. Kemudian, bagaiamana berbagai konsep tersebut diintegrasikan dalam suatu keterpaduan (social studies atau IPS) untuk menganalisis kehidupanmasyarakat.
Sebagaimana ilmu alam, ilmu-ilmu sosial juga memiliki ilmu sosial murni dan ilmu sosial terapan. Termasuk ilmu sosial murni adalah sosiologi,  sejarah  dan anthropologi. Masing-masing cabang ilmu ini memiliki metode dan konsep kajian sendiri-sendiri. Misalnya, sosiologi memusatkan pada perilaku manusia dan bagaimana mereka berinteraksi satu sama lain, yang melahirkan berbagai konsep seperti, organsiasi, konflik, integrasi, hegemoni, dan lainnya.
Perkembangan kemampuan manusia dan perkembangan masyarakat menjadikan ilmu-ilmu sosial berkembang. Munculah ilmu sosial terapan, seperti ekonomi, politik, ilmu hukum, limu pendidikan, ilmu administrasi, ilmu komunikasi dan  ilmu kesejahtreraan sosial. Masing-masing ilmu sosial terapan ini juga terus berkembang. Misalnya, ilmu pendidikan berkembang ilmu pendidikan anak usia dini,  ilmu pendidikan jarak jauh, ilmu pendidikan anak berbakat khusus, Ilmu kurikulum dan sebagainya. Ilmu kurikulum berinteraksi dengan bidang studi melahirkan social sciences dan social studies.  Social sciences merupakan penyederhanaan ilmu-ilmu sosial untum disajikan pada bangku sekolah, sedangkan social studies merupakan integrated social sciences. Di Indonesia social studies disebut ilmu pengetahuan sosial atau IPS. Jadi kalau menyebut IPS artinya sudah terkandung ilmu sosial terpadu. Ilmu ekonomi bekembang: ilmu ekonomi pembangunan, ekonomi manajemen dan ekonomi perbankan.
Dalam era modern ilmu-ilmu sosial memusatkan kajian pada perkembangan masyarakat. Perkembangan masyarakat pada era modern ini dapat dibagi dalam tiga tahap: masyarakat agraris, masyarakat industrial dan masyarakat informasi. Keberadaan tiga tahap tersebut tidak harus berarti menafikan satu dengan yang lain secara absolut. Artinya, sangat dimungkinkan suatu bangsa yang terdiri dari berbagai kelompok mengalami tahapan yang berbeda.
Manusia adalah makhluk sosial dan sekaligus makhluk rasional. Sebagai makhluk sosial secara alami manusia akan mengembangkan norma yang mengikat yang menjadi landasan hidup bersama. Sebagai makhluk rasional, manusia senantiasa melakukan pilihan-pilihan yang terbaik, yang paling efisien dalam mewujudkan tujuannya.
Keterkaitan antara perkembangan teknologi,  ekonomi dan budaya kultural muncul dalam proses transformasi masyarakat, dari masyarakat agraris, industri dan masyarakat informasi. Inovasi teknologi telah memacu transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat industrial. Globalisasi yang tidak bisa dilepaskan   perdagangan bebas memacu proses transformasi dari masyarakat industri ke masyarakat informasi.
Dalam era modern ilmu-ilmu sosial memberikan perhatian lebih besar pada lembaga dan pranata sosial.   Lembaga dan pranata sosial tumbuh dari birokrasi yang rasional dengan dimotori oleh Tylor dengan Scientific Management-nya. dimana organisasi disusun secara hirarkis bentuk piramida, dengan memberikan kekuasaan pengambilan keputusan pada top manajemen dan bawahan memiliki kewajiban untuk melaksanakan apa yang telah diputuskan oleh atasan. Perkembangan manajemen ini sejalan dengan perkembangan ekonomi kapitalis, melahirkan sistem politik Liberal Demokratis yang menekankan pada pranata sosial dengan memisahakan antara agama dan negara.
Analisis perkembangan masyarakat dalam ilmu-ilmu sosial antara lain telah melahirkan berbagai teori sosial. Dengan berbagai pendekatan dan teori tersebut diatas perkembangan masyarakat dianalisis, khususnya bersangkutan dengan  cara-cara yang harus ditempuh agar negara-negara sedang berkembang dapat mencapai tingkat kesejahteraan sebagaimana dialami negara-negara maju. Dari pengalaman perkembangan bangsa-bangsa yang telah maju, telah dapat disusun resep bagi negara-negara sedang berkembang agar dapat mencapai kemajuan yang telah dicapai negara maju. Berbagai kebijakan telah dilaksanakan antara lain:
1.   Semua bangsa dan negara memberikan tekanan pada Human Resources Development.
2.   Dikembangkan berbagai kerjasama internasional, baik bilateral maupun multilateral, dimana negara-negara maju membantu negara-negara sedang berkembang.
3.   Pelaksanaan demokrasi liberal.
4.   Melaksanakan sistem manajemen komando.
Namun, setelah puluhan tahun dilewati ditemukan ternyata “resep” tersebut tidak manjur. Tetap saja, negara-negara sedang berkembang  dijerat dalam berbagai permasalahan kemiskinan yang mendasar.
Mengapa?  Apakah salah resep? Ataukah ada penjelasan lain? Menurut hemat saya kesalahan yang terjadi adalah memahami konteks masyarakat secara disipliner, seperti bagaimana kondisi fisik (geografi), bagaimana kondisi interaksi ekonomi (ilmu ekonomi), bagaimana kondisi interaksi sosial (sosoiologi), bagaimana kondisi  interaksi  dengan diri sendiri (Psikologi), bagaimana interaksi berkaitan dengan kekuasaan (ilmu politik). Semestinya persoalan kehidupan masyarakat harus didekati secara multidsipliner.
Disamping itu, para ilmuwan sosial, antara lain Fukuyama dan Porter, memberikan jawaban bahwa keberhasilan pembangunan sangat ditentukan oleh karakter bangsa yang dimiliki. Karakter merupakan pandangan hidup dan keyakinan  yang memberi arah kemana bangsa harus menuju, bagaimana cara untuk menuju tujuan tersebut, etika dan norma apa yang harus dijadikan landasan. Karakter  bangsa inilah yang mendasari aktivitas individu, kelompok, organisasi dan lembaga lain yang ada di masyarakat.
Francis Fukuyama, lewat Thesis Social Capital, menjelaskan bahwa Social capital adalah  seperangkat nilai-nilai informal  atau norma-norma yang dipegang bersama seluruh anggota masyarakat sehingga memungkinkan mereka bekerjasama untuk mencapai tujuan bersama, yang disebut trust. Seperti: seperti bicara benar, dapat dipercaya dan dapat mempercayai orang lain, menerima kenyataan meskipun pahit, mengekang diri dengan menguasai emosi, melaksanakan kewajiban, diperlukan dalam terlaksananya ekonomi persaingan bebas.
Porter, mengusulkan paradigma produktivitas baru (knowledge based economy masyarakat informasi). Menurut paradigm baru ini, produktivitas ekonomi nasional akan ditentukan oleh produktivitas ekonomi perusahaan atau oleh ekonomi mikro. Fondasi ekonomi mikro untuk mampu bersaing adalah:  strategi dan operasi perusahaan yang canggih, dan, economic environment yang favourable (peraturan, permintaan lokal, logistik dan pelayanan teknologi). Hanya dengan perusahaan yang dapat beroperasi  lebih produktiflah ekonomi nasional  suatu bangsa akan dapat berkembang.
Paradigma produktivitas ekonomi masyarakat informasi ini memiliki ciri-ciri yang lebih detail sebagai berikut:
1.   Senantiasa mendorong inovasi
2.   Menekankan pada persaingan yang sehat.
3.   Menekankan akuntabilitas.
4.   Memiliki standard regulatori yang tinggi.
5.   Investasi pada kemampuan dan teknologi modern merupakan keharusan.
6.   Pekerja adalah aset perusahaan.
7.   Membiasakan kerja dalam kelompok-kelompok.
8.   Melakukan kolaborasi sesuai dengan kebutuhan.
       Dengan kata lain, baik Fukuyama maupun Porters menekankan betapa pentingnya karakter agar  bangsa yang bersangkutan dapat mewujudkan cita-cita, masyarakat yang makmur, sejahtera, adil, bermartabat dan beradab. Oleh karena, lewat ilmu-ilmu sosial perlu dilakukan penyadaran dan pencerahan kehidupan bangsa. Penyadaran berupa sajian gambaran dari analisis bagaimana sesungguhnya kondisi  bangsa dan negara Indonesia yang kita cintai bersama ini. Apa ancaman-ancaman yang dihadapi dan apa peluang-peluang yang harus diambil. Penyadaran ini amat penting agar,  bangsa sebagai totalitas menyadari dan memahami kemana harus melangkah dan tujuan apa yang harus diraih. Pencerahan memiliki makna bahwa bangsa sebagai totalitas harus diberikan gambaran bahwa bangsa  Indonesia memiliki masa depan yang cerah penuh dengan harapan. Untuk itu karakter: berbagai prinsip, norma dan etika serta semangat untuk mencapai yang terbaik harus ditanamkan kepada  seluruh warga  bangsa.
       Kehidupan manusia adalah berperilaku untuk memenuhi kebutuhan  hidup dan menghidupi diri dan lingkungannya.  Perilaku manusia atau kelompok manusia berbeda-beda, khususnya berkaitan dengan lingkungan fisiknya. Disamping itu, dan bahkan yang lebih penting perbedaan perilaku manusia terutama disebabkan oleh filsafat hidupnya. Sadar atau tidak sadar, setiap diri manusia memiliki filsafat hidup yang menggerakan perilakunya. Filsafat   memberian pedoman  apa yang akan  dilakukan dan apa yang tidak akan  dilakukan.
      Filsafat hidup adalah satu system komprehensif yang mengandung gagasan hakekat hidup manusia dan hakekat realitas dimana kita hidup. Filsafat melahirkan karakter, yang memberikan suatu pedoman untuk bagaimana seharusnya hidup, mendasari dan memberikan tuntunan akan keputusan yang harus diambil atas perilaku tertentu dan bagaimana memperlakukan orang lain.
       Karakter ini, tanpa disadari yang menyebabkan mengapa siswa di Jepang pantang menyontek di kala ujian, sebalilknya siswa di Indonesia biasa menyontek tanpa beban. Karenakarakter  pula, orang Indonesia gemar korupsi sebaliknya orang Jepang pantang korupsi. Karena korupsi bersumber dari karakter yang dimiliki oleh seseorang, sadar atau tidak sadar, menjadikan korupsi dalam suatu bangsa bukan semata karena ada kesempatan untuk melakukan korupsi melainkan juga secara sadar merencanakan dan menciptakan peluang untuk  bisa melakukan korupsi. Dari sinilah muncul korupsi berjamaah. Kondisi korupsi berjamaah ini menjadikan korupsi menyebabkan merebak dan meluas kehampir semua aspek kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Korupsi menjadi kejahatan kemanusiaan yang  tidak kalah bahayanya dengan penyalahgunaan narkoba dan tindak kejahatan terrorist.
      Salah satu aspek karakter adalah kejujueran. Ketiadakadaanya kejujuran menjadi dasar tindakan kejahatan korupsi, sebagaimana dikatakan oleh Sam Bimbo, “…..tidak ada kejujuran dan tidak punya rasa malu”. Bisa disebut pula buku sastrfawan Taufiq Ismail “Malu Aku Jadi Orang Indonesia”. Kejujuran merupakan salah satu dari enam pilar dari konsep karakter menurut UNESCO. Yakni, Trustworthiness, Responsibility, Respect, Fairness, Caring, dan Citizenship.
      Trustworthiness bisa diterjemahkan dapat dipercaya, apabila seseorang memiliki karakter  dapat dipercaya berarti orang tersebut memiliki kejujuran, integritas, loyalitas dan dapat reliabilitas.   Meskipun tidak ada orang lain melihat, orang ini tidak akan mau mengamil yang bukan menjadi haknya, tidak mau bohong, tidak akan pernah selingkuh, senantiasa satu kata dengan perbuatan. Dengan kata lain, orang yang memiliki Trustworthiness tidak memerlukan lagi pengawasan eksternal.
       Dimensi ke dua respect, merupakan karakter  yang apabila dimiliki oleh seseorang, maka orang ini akan melakukan hubungan dengan orang lain senantiasa mendasarkan pada “platinum rule”, berbuatlah kepada orang lain sebagaiamana orang lain itu mengharapkannya darimu. Watak respect ini mencakup senantiasa menghormati dan menghargai orang lain tanpa memandang latar belakang yang menyertainya, menjunjung tinggi martabat dan kedaulatan orang lain, memiliki sikap toleransi yang tinggi, dan mudah menerima orang dengan tulus. Dengan memiliki watak tersebut, maka seseorang akan senantiasa menghindari tindak kekerasan, tidak akan merendahkan dan mengeksploitasi orang lain.
        Dimensi ketiga responsibility menunjukan karakter bertanggung jawab atas apa yang dilakukan. Seseorang yang memiliki karakter  bertanggung jawab senantiasa akan menunjukan siapa dia dan apa yang telah diperbuat. Disamping itu, karakter bertanggung jawab akan melahirkan kerja keras dan bekerja sebaik mungkin    untu mencapai prestasi terbaik, dengan semboyan why niot the best?  
       Dimensi ke empat Fairness  memiliki makna senantiasa mengedepankan standard adil, tanpa dipengaruhi oleh sikap dan perasaan yang dimilikinya, ketika berhadapan dengan oang lain. Meskipun dia benci atau sakit hati pada seseorang, tetapi manakala harus mengambil keputusan, maka perasaan atau sakit hati itu tidak mempengaruhi keputusan yang diambil. Oleh karena dimensi  ini erat berkaitan dengan keterbukaan dan objektivitas.
       Dimensi ke lima caring, adalah berkaitan dengan apa yang ada dalam hati dan pertimbangan etika moral manakala menghadapi orang lain. Seseorang yang memiliki karakter caring, senantiasa akan mempergunakan kehalusan budi dan perasaan sehingga bisa memahami kegembiraan atau kepedihan yang dialami orang lain. Dimensi ini termanifestasikan dalam ujud kejujuran dalam menanggapi apa yang dikemukakan oleh orang lain dengan cara yang baik dan tepat.
       Dimensi terakhir,  Citizenship adalah berkaitan dengan karakter menjadi warga negara yang baik, yang memahamai dan melaksanakan tugas dan tanggung jawab sebagai seorang warga negara. Dimensi ini terjabarkan pada bagaimana perilaku seseorang sebagai warga masyarajat, warga bangsa dan negara yang baik. Indikator warga negara yang baik adalah kepatuhan dan ketaatan paad peraturan dan undang-undang yang berlaku. Agar bisa patuh, taat dan tunduk pada peraturan dan perundang-undangan yang berlaku, seorang warga negara yang baik mesti well informed dan senantiasa memahami perkembangan mutakhir yang tejadi dilingkungan masyarakat, bangsa dan negara. 
       Sudah barang tentu keenam dimensi universal dari karakter sebagaiamana diatas bisa dikembangkan lebih detail sesuai dengan kondisi bangsa kita, khususnya dikembalikan pada Pancasila, sebagai dasar dan filosofi hidup bangsa Indonsia.
      Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan Nasional (Kementerian Pendidikan Nasional, Badan penelitian dan pengembangan,Pusat kurikulum (2011). Pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa pedoman sekolah: hal 10) telah merumuskan materi pendidikan karakter kedalam  18 aspek , yakni:
 1. Religius : Sikap dan perilaku yang patuh dalam melaksanakan ajaran agama yang dianutnya, toleran terhadap pelaksanaan ibadah agama lain, serta hidup rukun dengan pemeluk agama lain.
2. Jujur : Perilaku yang didasarkan pada upaya menjadikan dirinya sebagai orang yang selalu dapat dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan pekerjaan.
3. Toleransi : Sikap dan tindakan yang menghargai perbedaan agama, suku, etnis,pendapat, sikap dan tindakan orang lain yang berbeda dari dirinya
4. Disiplin : Tindakan yang menunjukkan perilaku tertib dan patuh pada berbagai ketentuan dan peraturan.
5. Kerja Keras : Perilaku yang menunjukkan upaya sungguh-sungguh dalam mengatasi berbagai habatan belajar dan tugas serta menyelesaikan tugas dengan sebaik-baiknya
6. Kreatif : Berpikir dan melakukan sesuatu untuk menghasilkan cara atau hasil baru dari apa yang telah dimiliki
7. Mandiri : Sikap dan prilaku yang tidak mudah tergantung pada orang lain dalam menyelesaikan tugas-tugas
8. Demokratis : cara berfikir, bersikap dan bertindak yang menilai sama hak dan kewajiban dirinya dan orang lain
9. Rasa Ingin Tahu : sikap dan tindakan yang selalu berupaya untuk mengetahui lebih mendalam dan meluas dari apa yang dipelajarinya, dilihat, dan didengar
10. Semangat Kebangsaan : cara berpikir, bertindak, dan wawasan yang menempatkan kepentingan bangsa dan negara di atas kepentingan diri dan kelompoknya.
11. Cinta Tanah Air : Cara berfikir, bersikap dan berbuat yang menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan penghargaan yang tinggi terhadap bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya, ekonomi, dan politik bangsanya.
12. Menghargai Prestasi : Sikap dan tindakan yang mendorong dirinya untuk menghasilkan sesuatu yang berguna bagi masyarakat, dan mengakui dan menghormati keberhasilan orang lain.
13. Bersahabat/ Komuniktif : Tindakan yang memperlihatkan rasa senang berbicara, bergaul, dan bekerjasama dengan orang lain.
14. Cinta Damai : Sikap, perkataan dan tindakan yang menyebabkan orang lain merasa senang dan aman atas kehadiran dirinya
15. Gemar Membaca : Kebiasaan menyediakan waktu untuk membaca berbagai bacaan yang memberikan kebajikan bagi dirinya.
16. Peduli Lingkungan : Sikap dan tindakan yang selalu berupaya mencegah kerusakan pada lingkungan alam di sekitarnya, dan mengembangkan upaya-upaya untuk memperbaiki kerusakan alam yang sudah terjadi.
17. Peduli Sosial : Sikap dan tindakan yang selalu ingin memberi bantuan bagi orang lain dan masyarakat yang membutuhkan
18. Tanggung-jawab : Sikap dan perilaku seseorang dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya terhadap diri sendiri, masyarakat, lingkungan (alam, sosial dan budaya), negara dan Tuhan YME.
   Karakter sebagaimana tersebut diatas tidak tumbuh dengan sendirinya pada diri setiap individu, melainkan perlu suatu rekayasa social, yang direncanakan dan dilaksanakan sebaik dan secermat mungkin. Proses berlangsung amat panjang, bahkan akan berlangsung sepanjang masa, khususnya lewat pendidikan. Dari sinilah  secara spesifik lahir konsep pendidikan karakter.
              Pendidikan karakter adalah berkaitan dengan pengembangan nilai-nilai, kebiasaan-kebiasaan yang baik,      dan sikap yang positif  guna mewujudkan individu yang dewasa dan bertanggung jawab. Jadi pendidikan karakter berkaitan dengan pengembangan pada diri pesertadidik kemampuan untuk merumuskan kemana  hidupnya menuju, dan apa-apa yang baik dan apa-apan yang jelek dala mewujudkan tujuan hidup itu. Oleh karena itu, pendidikan karakter merupakan proses yang berlangsung terus menerus tiada kenal kata henti. Pendidikan karakter bisa dilakukan dalam bentuk mata kuliah, tetapi yang lebihpenting adalah dalam bentuk keteladanan bagaimana interaksia antar manusi8a yang berkarakter. ARtinya, disamping perkuliahan pendidikan karakter, mesti pula dikembangkan kultur kampus yant berkarakter. Bagaimana hbu8ngan dan interaksi antara dosen dan mahasiswa, bagaimana hubungan dna interaksi diantara kolega dosen, bagaimana hubungan dna inbteraksi dian tara sesame mahasiswa, dan sebagainya. Keteladan dalam kultur kampus ini sering juga dalam bentuk hiden curriculum.
      Karakter berkaitan dengan nilai-nilai, penalaran dan perilaku dari seorang. Dengan demikian, pendidikan karakter tidak bisa hanya diceramahkan, atau dipaksakan lewat proses indoktrinasi berselubung pendidik. Pendidikan karakter perlu didasarkan pada strategi yang tepat. Kevin Ryan (Kevin Ryan, 2002, The Six E's of Character Education //www.bu.edu/education/caec/files/6E.htm., Retrieved on  5 May 2011) salah seorang pedagog berkebangsaan Amerika mengembangkan strategi pendidikan karakter yang disebut dengan dengan enam E. Yakni Example, Explanation, Exhortation, Ethical environment, Experience, dan Expectation of excellency. Menurut strategi Ryan tersebut, pendidikan karakter memerlukan contoh atau tauladan, jadi pesertadidik memiliki model yang ditiru. Sesuatu yang akan ditiru oleh siswa, disertai dengan pengetahuan mengapa seseorang perlu melakukan apa yang ditiru tersebut. Untuk itu perlu ada penjelasan mengapa sesuatu harus dilakukan, sehingga tidak meniru membabi buta. Melakukan sesuatu itu harus secara serius sungguh-sungguh, sebagai bentuk kerja keras dan serius, tidak kenal kata lelah. Dalam melaksanakan sesuatu itu harus mempertimbangan lingkungan baik sosial maupun fisik. Artinya, seseorang harus sensitif atas kondisi dan situasi yang ada disekitarnya. Sikap, dan khususnya perilaku yang dilaksanakan harus dinikmati, dikerjakan dengan penuh makna, sehingga memberikan pengalaman bagi diri pribadi. Pengalaman inilah yang bsia menumbuhkan “makna” atau “spiritual” atas apa yang dilakukan. Dengan demikian perilaku tersebut terinternalisasi pada diri yang akan menjadi kebiasaan. Akhirnya, semua itu dilakukan dengan harapan yang tinggi, bahwa hasil perilaku tersebut mewujudkan hasil terbaik.
       Strategi lain  adalah: Pertama, tujuan, sasaran dan target yang akan dicapai harus jelas dan konrit. Kedua, pendidikan karakter akan lebih efektif dan efisien kalau dikerjakan tidak oleh sekolah sendiri, melainkan kerjasama sekolah dengan orang tua siswa. Sebagaimana telah disinggung di depan, bahwa  karakter bangsa  saat ini tengah sakit, nyaris lumpuh. Masyarakat intinya adalah keluarga. Dengan kata lain berarti saat ini keluarga kita secara mental tengah sakit. Para pesertadidik sebagai anggota muda keluarga  yang sakit, sudah pasti terpengaruh.  Pengaruh ini dalam bentuk para pesertadidik  selama ini melakukan  sesuatu kegiatan “kosong  tanpa makna”. Oleh karena itu, sekolah memerlukan kerjasama keluarga, khususnyaa dalam arti, agar sekolah bisa melakukan perubahan pada diri kalangan orang tua, sebagai syarat berhasilnya  mengembangkan karakter pesertadidik. Tanpa perubahan karakter orang tua, hampir hampir tidak mungkin dapat dikembangkan karakter baru siswa.
       Ke tiga, menyadarkan pada semua guru akan peran yang penting dan bertanggung jawab dalam keberhasilan melaksanakan dan mencapai tujuan pendidikan karakter. Lewat mata pelajaran yang diampu atau tugas yang menjadi tanggung jawabnya, harus mengembangkan  karakter pada diri pesertadidik. Untuk itu guru harus benar-benar memahami filosofi seorang guru, tidak sekedar  tehnis melaksanakan pembelajaran. Pembelajaran yang dilaksanakan oleh para  guru harus mengembangkan kesadaran akan pentingnya  keterpaduan antara hati, pikiran, tangan, cipta,  rasa dan karsa dikalangan pesertadidik guna mengembangkan karakternya masing-masing. Keterpaduan ini penting artinya agar para pesertadidik  bisa memahami kebaikan, mencintai kebaikan, dan melakukan kebaikan. Dari itulah akan melahirkan karakter, sebagaimana diucapkan oleh seorang filosof, Marcus Tullius Cicerio: “"A man's own manner and character is what most becomes." (Brainy Quote, http://www.brainyquote.com/search_results.html?cx=partner-pub-9038795104372754%3Aqhts1lw6ghm&cof=FORID%3A9., diunduh tanggal 5 Mei 2011)
       Ke empat, menyadarkan bahwa guru memiliki “hidden curriculum”, dan merupakan instrument yang amat penting dalam pengembangan karakter pesertadidiki. KIurikulumj tersembunyi ini ada pada perilaku guru, khsusunya dalam berinteraksi dengan para pesertadidik,  yang disadari atau tidak akan berpengaruh besar pada diri pesertadidik. Oleh karena itu, guru perlu memanfaatkan kurikulum tersembunyi ini dengan sadar dean terencana.
       Ke lima, dalam melaksanakan pembelajaran guru menekankan pada daya kritis pesertadidik (critical thinking), kemampuan kerjasama, dan ketrampilan mengambil keputusan.  Metode pembelajaran yang paling tepat untuk mencapai tujuan tersebut adalah Cooperative learning dan Problem Based Teaching and Learning. Di kalangan pendidik kita, kedua metode tersebut, terutama yang terakhir belum banyak dikusai. Oleh karena itu, sudah masanya para pendidik kita untuk mempelajari, menguasai dan mempraktikan kedua metode pembelajaran tersebut, khususnya dalam kaitan pengembangan karakter siswa. 

       Ke enam       kultur sekolah harus dimanfaatkan dalam pengembangan karakter pesertadidik. Nilai-nilai, keyakinan-keyakinan, norma-norma, semboyan-semboyan sampai kondisi fisik sekolah yang ada perlu difahami dan didesain sedemikian rupa sehingga fungsional untuk mengembangakn karakter siswa.   Amat menarik untuk dicatat suatu temuan penelitian menyimpulkan bahwa  hasil test terstandard  pada sekolah-sekolah di California selama  tahun 1999 sampai 2002 secara significant  berkorelasi positif dengan  kemampuan sekolah menciptakan kultur sekolah berupa   “ a clean and safe physical environment". Disamping itu prestasi siswa juga berkorelasi positif dan siginikan dengan partisipasi orang tua dan peran guru sebagai model bagi pesertadidik,  serta kesempatan siswa untuk berkontribusi pada kegiatan sekolah dan kegiatan masyarakat, sesuai dengan gaya pesertadidik  sendiri. Prestasi siswa perlu untuk dikemukakan dalam kaitan dengan kultur sekolah, karena Thomas Lickona  sebagai seorang ahli dalam pendidikan karakter  sebagaimana dikutip oleh Traub (2005, 4)  pada suatu kesempatan menyatakan bahwa: "Virtue is human excellence. To be a school of character, a community of virtue, is to be equally committed to two great goals: intellectual excellence and moral excellence."

      Ke tujuh pada hakekatnya salah satu fase pendidikan karakter adalah merupakan proses pembiasaan dalam kehidupan sehari-hari khususnya di sekolah yang dapat dimonitor dan dikontrol oleh kepala sekolah dan guru. Diharapkan orang tua siswa memonitor dan mengontrol perilaku sehari-hari pesertadidik di lingkungan keluarga dan masyarakat.
       Keluarga merupakan agent pertama dan utama dalam mengembangkan jati diri dan identitas diri anak sebagai warga suatu bangsa yang merdeka dan berdaulat. Kondisi, situasi dan interaksi antar anggota keluarga merupakan proses pendidikan yang amat penting bagi  siswa. Disinilah makna pentingnya keberadaan keluarga yang sehat dan kuat, bagi pendidikan karakter. Sudah barang tentu, keluarga tidak harus bekerja sendiri sendiri, melainkan perlu ada kolaborasi kerjasama diantara keluarga-keluarga lain dalam membangun karakter anak-anak mereka. Peribahasa Afrika menyatakan, “untuk mendidik seorang anak diperlukan orang sekampung”, “it takes a village to raise a child.” (Hudson, tanpa tahun)
Warga bangsa, khususnya anak dan remaja berinteraksi dengan media massa dalam intensitas yang amat tinggi. Dengan kemajuan teknologi komunikasi dan informasi sebagaimana yang terjadi dewasa ini, anak-anak akan lebih banyak berinteraksi dengan media massa dari  pada dengan orang tua mereka, apalagi dengan guru-guru. Interaksi anak-anak dengan media massa, khususnya TV, bersifat satu arah. Acara yang dilihat anak di TV mempengaruhi anak-anak, sebaliknya apa yang dipikir dan dilakukan anak-anak sama sekali tidak mempengaruhi acara-acara TV. Semua fihak mengetahui bahwa TV merupakan lembaga bussines, yang prinsip dan tujuanya adalah “profit”, mencari keuntungan. Oleh karenanya, acara TV mengikuti “trend pasar” dan berusaha menciptakan pasar. Arah pasar adalah acara yang berbau barat, porno, kekerasan, dan mistik. Karena acara itu yang laku. Acara TV, kalau mau dapat untung besar, harus memberikan itu semua. Hasilnya, acara TV dapat kita saksikan dewasa ini. Dan dampak sudah jelas, menjauhkan anak dari jati diri dan identitas sebagai warga bangsa yang medeka dan berdaulat. Salah satu yang sudah menjadi realitas adalah bagaiaman warga bangsa lebih mencintai segala sesuatu yang berbau asing, sebaliknya memandang rendah segala sesuatu yang berlabel nasional atau dalam negeri. 
PENUTUP.
Karakter merupakan suatu fondasi kehidupan,  baik sebagai individu (mikro) maupun sebagai  bangsa (makro). Karakter memiliki fungsi memberikan arah kemana seseorang atau bangsa harus menuju, bagaimana cara mencapai tujuan itu, apa yang harus dikaji dan dipegang teguh-teguh  dan sebaliknya apa yang harus dihindari dan dibuang jauh-jauh dalam rangka mewujudkan tujuan tersebut. Suatu bangsa akan runtuh manakala tidak memiliki karakter yang kuat, sebaliknya untuk menjadi bangsa yang maju, modern dan barkeadaban   memerlukan karakter yang  “kuat”.  Secara khusus karakter yang kuat diperlukan bagi suatau bangsa yang memasuki pasar bebas.
  Perkembangan zaman bergerak dengan cepat, dan kini kehidupan berbangsa memasuki abad 21, abad teknologi dan abad perdagangan bebas.  dimana dunia semakin dekat, nyaris tanpa batas-batas pisik yang bisa membatasi interaksi ekonomi  antar bangsa, proses pewarisan budaya termasuk karakter didalamnya mutlak diperlukan.  
           Dalam era perdagangan bebas ilmu sosial menempati peran penting, karena pada hakekatnya ilmu sosial mempelajari interaksi antar manusia dan antar kelompok. Kompleksitas interaksi tersebut dalam kajian ilmu-ilmu sosial baik bersifat disipliner maupun integrated akan disederhanakan sehingga dapat dikaji lebih mudah dan detail.  Dalam  interaksi tersebut karakter memiliki peran penting. Karaker bangsa mesti diwariskan  antar generasi. Pendidikan karakter merupakan proses pewarisan,  untuk mengembangkan pada diri setiap pesertadidik kesadaran sebagai warga bangsa yang bermartabat, merdeka dan  berdaulat dan kemauan untuk menjaga dan mempertahankan kemerdelaan dan kedaulatan tersebut, serta mewujudka  cita-cita proklamasi, untuk apa negara ini merdeka. Untuk itu perlu dikembangkan pada diri setiap pesertadidik  kesadaran diri, niat,  kemampuan dan perilaku untuk  mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa yang cintai, dan mewujudkan cita-cita proklamasi.  Oleh karena itu, mereka siapa saja yang mempelajari ilmu sosial perlu untuk memahami karakter dan pendidikan karakter.
          

Malang, 18 Agustus 2014
DAFTAR KEPUSTAAKAAN

Milton, C.  (2010) Education nation.  Six leading edges of innovation in our schools. San Fransisci, CA: Yossey Bass.
Fukuyama, Francis (1995) Confucianism and democracy in  Journal of Democracy, 6 (3) April, 20-33.
Gholar, C. (2004). Character Education: Creating a Framework for Excellence. Urban Programs   Resource Network, Retrieved  from  http://www.urbanext.uiuc.edu

Houston, Paul, D. (Tanpa tahun)  The School's Role in Building Character Among Students. A Presentation. American Association of School Administrators.

Kementerian Pendidikan Nasional, Badan penelitian dan pengembangan, Pusat kurikulum (2011). Pengembangan pendidikan budaya dan karakter bangsa pedoman sekolah: hal 10.

Kevin,  Ryan  (2002), The Six E's of Character Education, Retrieved  from //www.bu.edu/education/caec/files/6E.htm
Kra, Pauline (2002)  «The concept of national character in 18th century France», Cromohs, 7: 1-6.

Rynders, L. (2006). If You Matter to Someone, There is Always a Glimmer of Hope. Reclaiming Children & Youth, 14(4), 215.217. Retrieved from Academic Search Complete:19719036.

Martin, James (2006) The Meaning of the 21st Century, a vital blueprint for ensuring our future”. London, England: Eden Project book.

Stephenson , Carolyn (2005). Nation Building. A Paper presented on the Regional Confrence on the nation character building hel at Tallahassee, FL,  October, 12.

Traub, James (2005), “The Moral Imperative,  Character Education, soul by soul, at the Hyde Schools Education next, Winter / Vol. 5, No.1: P.

Vincent, P.F. (Ed.). (1996).  Promising Practices in Character Education: Nine Success Stories from Around the       Country.  Chapel Hill: Character Development Group